Beranda | Artikel
Tuntunan Shalat Sunnah Rawatib
Selasa, 7 September 2010

Bismillah, pada kesempatan kali ini kami akan coba membahas terkait tuntunan shalat sunnah rawatib. Semoga dengan pembahasan ini, kita semua bisa lebih maksimal dalam mengerjakan shalat sunnah rawatib.

Sesungguhnya diantara hikmah dan rahmat Allah atas hambanya adalah disyariatkannya At-tathowwu’ (ibadah tambahan). Dan dijadikan pada ibadah wajib diiringi dengan adanya at-tathowwu’ dari jenis ibadah yang serupa. Hal itu dikarenakan untuk melengkapi kekurangan yang terdapat pada ibadah wajib.

Dan sesungguhnya at-tathowwu’ (ibadah sunnah) di dalam ibadah shalat yang paling utama adalah shalat sunnah rawatib. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa mengerjakannya dan tidak pernah sekalipun meninggalkannya dalam keadaan mukim (tidak bepergian jauh).

Mengingat pentingnya ibadah ini, serta dikerjakannya secara berulang-ulang sebagaimana shalat fardhu, sehingga kami (penulis) ingin menjelaskan sebagian dari tuntunan shalat sunnah rawatib secara ringkas.

Daftar Isi sembunyikan

Keutamaan Shalat Sunnah Rawatib

Ummu Habibah radiyallahu ‘anha telah meriwayatkan sebuah hadits tentang keutamaan shalat sunnah rawatib, dia berkata: saya mendengar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang shalat dua belas rakaat pada siang dan malam, maka akan dibangunkan baginya rumah di surga“. Ummu Habibah berkata: saya tidak pernah meninggalkan shalat sunnah rawatib semenjak mendengar hadits tersebut. ‘Anbasah berkata: Maka saya tidak pernah meninggalkannya setelah mendengar hadits tersebut dari Ummu Habibah. ‘Amru bin Aus berkata: Saya tidak pernah meninggalkannya setelah mendengar hadits tersebut dari ‘Ansabah. An-Nu’am bin Salim berkata: Saya tidak pernah meninggalkannya setelah mendengar hadits tersebut dari ‘Amru bin Aus. (HR. Muslim no. 728).

‘Aisyah radhiyallahu ‘anha telah meriwayatkan sebuah hadits tentang shalat sunnah rawatib sebelum (qobliyah) shubuh, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda, “Dua rakaat sebelum shubuh lebih baik dari dunia dan seisinya“. Dalam riwayat yang lain, “Dua raka’at sebelum shubuh lebih aku cintai daripada dunia seisinya” (HR. Muslim no. 725)

Adapun shalat sunnah sebelum shubuh ini merupakan yang paling utama di antara shalat sunnah rawatib dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkannya baik ketika mukim (tidak berpegian) maupun dalam keadaan safar.

Ummu Habibah radhiyallahu ‘anha telah meriwayatkan tentang keutamaan rawatib dzuhur, dia berkata: saya mendengar rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang menjaga (shalat) empat rakaat sebelum dzuhur dan empat rakaat sesudahnya, Allah haramkan baginya api neraka“. (HR. Ahmad 6/325, Abu Dawud no. 1269, At-Tarmidzi no. 428, An-Nasa’i no. 1814, Ibnu Majah no. 1160)

Jumlah Shalat Sunnah Rawatib

Hadits Ummu Habibah di atas menjelaskan bahwa jumlah shalat sunnah rawatib ada 12 rakaat dan penjelasan hadits 12 rakaat ini diriwayatkan oleh At-Tarmidzi dan An-Nasa’i, dari ‘Aisyah radiyallahu ‘anha, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang tidak meninggalkan dua belas (12) rakaat pada shalat sunnah rawatib, maka Allah akan bangunkan baginya rumah di surga, (yaitu): empat rakaat sebelum dzuhur, dan dua rakaat sesudahnya, dan dua rakaat sesudah maghrib, dan dua rakaat sesudah ‘isya, dan dua rakaat sebelum subuh“. (HR. At-Tarmidzi no. 414, An-Nasa’i no. 1794)

Surat yang Dibaca pada Shalat Rawatib Qobliyah Subuh

Dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu, “Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada shalat sunnah sebelum subuh membaca surat Al Kaafirun (قل يا أيها الكافرون) dan surat Al Ikhlas (قل هو الله أحد).” (HR. Muslim no. 726)

Dan dari Sa’id bin Yasar, bahwasannya Ibnu Abbas mengkhabarkan kepadanya: “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada shalat sunnah sebelum subuh dirakaat pertamanya membaca: (قولوا آمنا بالله وما أنزل إلينا) (QS. Al-Baqarah: 136), dan dirakaat keduanya membaca: (آمنا بالله واشهد بأنا مسلمون) (QS. Ali Imron: 52). (HR. Muslim no. 727)

Surat yang Dibaca pada Shalat Rawatib Ba’diyah Maghrib

Dari Ibnu Mas’ud radiyallahu ‘anha, dia berkata: Saya sering mendengar Rasulullah shallalllahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau membaca surat pada shalat sunnah sesudah maghrib:” surat Al Kafirun (قل يا أيها الكافرون) dan surat Al Ikhlas (قل هو الله أحد). (HR. At-Tarmidzi no. 431, berkata Al-Albani: derajat hadits ini hasan shohih, Ibnu Majah no. 1166)

Apakah Shalat Rawatib 4 Rakaat Qobiyah Dzuhur Dikerjakan dengan Sekali Salam atau Dua Kali Salam?

As-Syaikh Muhammad bin Utsaimin rahimahullah berkata: “Sunnah Rawatib terdapat di dalamnya salam, seseorang yang shalat rawatib empat rakaat maka dengan dua salam bukan satu salam, karena sesungguhnya nabi bersabda: “Shalat (sunnah) di waktu malam dan siang dikerjakan dua rakaat salam dua rakaat salam”. (Majmu’ Fatawa As-Syaikh Al-Utsaimin 14/288)

Apakah Pada Shalat Ashar Terdapat Rawatib?

As-Syaikh Muammad bin Utsaimin rahimahullah berkata, “Tidak ada sunnah rawatib sebelum dan sesudah shalat ashar, namun disunnahkan shalat mutlak sebelum shalat ashar”. (Majmu’ Fatawa As-Syaikh Al-Utsaimin 14/343)

Shalat Rawatib Qobliyah Jum’at

As-Syaikh Abdul ‘Azis bin Baz rahimahullah berkata: “Tidak ada sunnah rawatib sebelum shalat jum’at berdasarkan pendapat yang terkuat di antara dua pendapat ulama’. Akan tetapi disyari’atkan bagi kaum muslimin yang masuk masjid agar mengerjakan shalat beberapa rakaat semampunya” (Majmu’ Fatawa As-Syaikh Bin Baz 12/386&387)

Shalat Rawatib Ba’diyah Jum’at

Dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila seseorang di antara kalian mengerjakan shalat jum’at, maka shalatlah sesudahnya empat rakaat“. (HR. Muslim no. 881)

As-Syaikh Bin Baz rahimahullah berkata, “Adapun sesudah shalat jum’at, maka terdapat sunnah rawatib sekurang-kurangnya dua rakaat dan maksimum empat rakaat” (Majmu’ Fatawa As-Syaikh Bin Baz 13/387)

Shalat Rawatib Dalam Keadaan Safar

Ibnu Qayyim rahimahullah berkata, “Rasulullah shallallahu a’laihi wa sallam didalam safar senantiasa mengerjakan shalat sunnah rawatib sebelum shubuh dan shalat sunnah witir dikarenakan dua shalat sunnah ini merupakan yang paling utama di antara shalat sunnah, dan tidak ada riwayat bahwasannya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat sunnah selain keduanya”. (Zaadul Ma’ad 1/315).

As-Syaikh Bin Baz rahimahullah berkata: “Disyariatkan ketika safar meninggalkan shalat rawatib kecuali shalat witir dan rawatib sebelum subuh”. (Majmu’ Fatawa 11/390).

Tempat Mengerjakan Shalat Rawatib

Dari Ibnu Umar radiyallahu ‘anhuma berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Lakukanlah di rumah-rumah kalian dari shalat-shalat dan jangan jadikan rumah kalian bagai kuburan“. (HR. Bukhori no. 1187, Muslim no. 777)

As-Syaikh Muhammad bin Utsaimin rahimahullah berkata: “Sudah seyogyanya bagi seseorang untuk mengerjakan shalat rawatib di rumahnya…. meskipun di Mekkah dan Madinah sekalipun maka lebih utama dikerjakan dirumah dari pada di masjid Al-Haram maupun masjid An-Nabawi; karena saat Nabi shallallahu a’alihi wasallam bersabda sementara beliau berada di Madinah….. Ironisnya manusia sekarang lebih mengutamakan melakukan shalat sunnah rawatib di masjidil haram, dan ini termasuk bagian dari kebodohan”. (Syarh Riyadhus Sholihin, 3/295)

Baca Juga: Memisahkan Shalat Sunnah Dan Shalat Wajib

Waktu Mengerjakan Shalat Rawatib

Ibnu Qudamah berkata: “Setiap sunnah rawatib qobliyah maka waktunya dimulai dari masuknya waktu shalat fardhu hingga shalat fardhu dikerjakan, dan shalat rawatib ba’diyah maka waktunya dimulai dari selesainya shalat fardhu hingga berakhirnya waktu shalat fardhu tersebut “. (Al-Mughni 2/544)

Mengganti (mengqodho’) Shalat Rawatib

Dari Anas radiyallahu ‘anhu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang lupa akan shalatnya maka shalatlah ketika dia ingat, tidak ada tebusan kecuali hal itu“. (HR. Bukhori no. 597, Muslim no. 680)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Dan hadits ini meliputi shalat fardhu, shalat malam, witir, dan sunnah rawatib”. (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah, 23/90)

Mengqodho’ Shalat Rawatib Di Waktu yang Terlarang

Ibnu Qoyyim berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam meng-qodho’ shalat ba’diyah dzuhur setelah ashar, dan terkadang melakukannya terus-menerus, karena apabila beliau melakukan amalan selalu melanggengkannya. Hukum mengqodho’ diwaktu-waktu terlarang bersifat umum bagi nabi dan umatnya, adapun dilakukan terus-menerus pada waktu terlarang merupakan kekhususan nabi”. (Zaadul Ma’ad 1/308)

Waktu Mengqodho’ Shalat Rawatib Sebelum Subuh

Dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang belum mengerjakan dua rakaat sebelum shalat subuh, maka shalatlah setelah matahari terbit“. (At-Tirmdzi 423, dan dishahihkan oleh Al-albani)

Dan dari Muhammad bin Ibrahim dari kakeknya Qois, berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam keluar rumah mendatangi shalat kemudian qomat ditegakkan dan shalat subuh dikerjakan hingga selesai, kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berpaling menghadap ma’mum, maka beliau mendapati saya sedang mengerjakan shalat, lalu bersabda: “Sebentar wahai Qois apakah ada shalat subuh dua kali?“. Maka saya berkata: Wahai rasulullah sungguh saya belum mengerjakan shalat sebelum subuh, Rasulullah bersabda: “Maka tidak mengapa“. (HR. At-Tirmidzi). Adapun pada Abu Dawud dengan lafadz: “Maka rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diam (terhadap yang dilakukan Qois)”. (HR. At-tirmidzi no. 422, Abu Dawud no. 1267, dan Al-Albani menshahihkannya)

As-Syaikh Muhammad bin Ibrahim rahimahullah berkata: “Barangsiapa yang masuk masjid mendapatkan jama’ah sedang shalat subuh, maka shalatlah bersama mereka. Baginya dapat mengerjakan shalat dua rakaat sebelum subuh setelah selesai shalat subuh, tetapi yang lebih utama adalah mengakhirkan sampai matahari naik setinggi tombak” (Majmu’ Fatawa As-Syaikh Muhammad bin Ibrahim 2/259 dan 260)

Jika Shalat Subuh Bersama Jama’ah Terlewatkan, Apakah Mengerjakan Shalat Rawatib Terlebih Dahulu atau Shalat Subuh?

As-Syaikh Muhammad bin Utsaimin rahimahullah berkata: “Shalat rawatib didahulukan atas shalat fardhu (subuh), karena shalat rawatib qobliyah subuh itu sebelum shalat subuh, meskipun orang-orang telah keluar selesai shalat berjama’ah dari masjid” (Majmu’ Fatawa As-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsatimin 14/298)

Pengurutan Ketika Mengqodho’

As-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata: “Apabila didalam shalat itu terdapat rawatib qobliyah dan ba’diyah, dan shalat rawatib qobliyahnya terlewatkan, maka yang dikerjakan lebih dahulu adalah ba’diyah kemudian qobliyah.

Contoh: Seseorang masuk masjid yang belum mengerjakan shalat rawatib qobliyah mendapati imam sedang mengerjakan shalat dzuhur, maka apabila shalat dzuhur telah selesai, yang pertamakali dikerjakan adalah shalat rawatib ba’diyah dua rakaat, kemudian empat rakaat qobliyah”. (Syarh Riyadhus Sholihin, 3/283)

Mengqodho’ Shalat Rawatib yang Banyak Terlewatkan

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Diperbolehkan mengqodho’ shalat rawatib dan selainnya, karena merupakan shalat sunnah yang sangat dianjurkan (muakkadah)… kemudian jika shalat yang terlewatkan sangat banyak, maka yang utama adalah mencukupkan diri mengerjakan yang wajib (fardhu), karena mendahulukan untuk menghilangkan dosa adalah perkara yang utama, sebagaimana “Ketika Rasulullah mengerjakan empat shalat fardhu yang tertinggal pada perang Khondaq, beliau mengqodho’nya secara berturut-turut”. Dan tidak ada riwayat bahwasannya Rasulullah mengerjakan sholat rawatib diantara shalat-shalat fardhu tersebut.…. Dan jika hanya satu atau dua shalat yang terlewatkan, maka yang utama adalah mengerjakan semuanya sebagaimana perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pada saat shalat subuh terlewatkan, maka beliau mengqodho’nya bersama shalat rawatib”. (Syarh Al-‘Umdah, hal. 238)

Menggabungkan Shalat-shalat Rawatib, Tahiyatul Masjid, dan Sunnah Wudhu’

As-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah berkata: “Apabila seseorang masuk masjid diwaktu shalat rawatib, maka ia bisa mengerjakan shalat dua rakaat dengan niat shalat rawatib dan tahiyatul masjid, dengan demikian tertunailah dengan mendapatkan keutamaan keduanya. Dan demikian juga shalat sunnah wudhu’ bisa digabungkan dengan keduanya (shalat rawatib dan tahiyatul masjid), atau digabungkan dengan salah satu dari keduanya”. (Al-Qawaid Wal-Ushul Al-Jami’ah, hal. 75)

Menggabungkan Shalat Sebelum Subuh dan Shalat Duha Pada Waktu Dhuha

As-Syaikh Muhammad Bin Utsaimin rahimahullah berkata: “Seseorang yang shalat qobliyah subuhnya terlewatkan sampai matahari terbit, dan waktu shalat dhuha tiba. Maka pada keadaan ini, shalat rawatib subuh tidak terhitung sebagai shalat dhuha, dan shalat dhuha juga tidak terhitung sebagai shalat rawatib subuh, dan tidak boleh juga menggabungkan keduanya dalam satu niat. Karena shalat dhuha itu tersendiri dan shalat rawatib subuh pun juga demikian, sehingga tidaklah salah satu dari keduanya terhitung (dianggap) sebagai yang lainnya. (Majmu’ Fatawa As-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, 20/13)

Menggabungkan Shalat Rawatib dengan Shalat Istikharah

Dari Jabir bin Abdullah radiyallahu ‘anhuma berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan kami shalat istikhorah ketika menghadapi permasalahan sebagaimana mengajarkan kami surat-surat dari Al-Qur’an”, kemudian beliau bersabda: “Apabila seseorang dari kalian mendapatkan permasalahan, maka shalatlah dua rakaat dari selain shalat fardhu…” (HR. Bukhori no. 1166)

Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata: “Jika seseorang berniat sholat rawatib tertentu digabungkan dengan shalat istikhorah maka terhitung sebagai pahala (boleh), tetapi berbeda jika tidak diniatkan”. (Fathul Bari 11/189)

Baca Juga: Memperbanyak Shalat Sunnah sebelum Datangnya Khatib Jum’at

Shalat Rawatib Ketika Iqomah Shalat Fardhu Telah Dikumandangkan

Dari Abu Huroiroh radiyallahu ‘anhu, dari nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Apabila iqomah shalat telah ditegakkan maka tidak ada shalat kecuali shalat fardhu“. (HR. Muslim bi As-syarh An-Nawawi 5/222)

An-Nawawi berkata: “Hadits ini terdapat larangan yang jelas dari mengerjakan shalat sunnah setelah iqomah shalat dikumandangkan sekalipun shalat rawatib seperti rawatib subuh, dzuhur, ashar dan selainnya” (Al-Majmu’ 3/378)

Memutus Shalat Rawatib Ketika Shalat Fardhu ditegakkan

As-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata: “Apabila shalat telah ditegakkan dan ada sebagian jama’ah sedang melaksanakan shalat tahiyatul masjid atau shalat rawatib, maka disyari’atkan baginya untuk memutus shalatnya dan mempersiapkan diri untuk melaksanakan shalat fardhu, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: “Apabila iqomah shalat telah ditegakkan maka tidak ada shalat kecuali shalat fardhu..“, akan tetapi seandainya shalat telah ditegakkan dan seseorang sedang berada pada posisi rukuk dirakaat yang kedua, maka tidak ada halangan bagi dia untuk menyelesaikan shalatnya. Karena shalatnya segera berakhir pada saat shalat fardhu baru terlaksana kurang dari satu rakaat”. (Majmu’ Fatawa 11/392 dan 393)

Apabila Mengetahui Shalat Fardhu Akan Segera Ditegakkan, Apakah Disyari’atkan Mengerjakan Shalat Rawatib?

As-Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Sudah seharusnya (mengenai hal ini) dikatakan: “Sesungguhnya tidak dianjurkan mengerjakan shalat rawatib diatas keyakinan yang kuat bahwasannya shalat fardhu akan terlewatkan dengan mengerjakannya. Bahkan meninggalkannya (shalat rawatib) karena mengetahui akan ditegakkan shalat bersama imam dan menjawab adzan (iqomah) adalah perkara yang disyari’atkan. Karena menjaga shalat fardhu dengan waktu-waktunya lebih utama daripada shalat sunnah rawatib yang bisa dimungkinkan untuk diqodho`”. (Syarh Al-‘Umdah, hal. 609)

Mengangkat Kedua Tangan Untuk Berdo’a Setelah Menunaikan Shalat Rawatib

As-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata: “Shalat Rawatib: Saya tidak mengetahui adanya larangan dari mengangkat kedua tangan setelah mengerjakannya untuk berdo’a, dikarenakan beramal dengan keumuman dalil (akan disyari’atkan mengangkat tangan ketika berdo’a). Akan tetapi lebih utama untuk tidak melakukannya terus-menerus dalam hal itu (mengangkat tangan), karena tidaklah ada riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengerjakan demikian, seandainya beliau melakukannya setiap selesai shalat rawatib pasti akan ada riwayat yang dinisbahkan kepada beliau. Padahal para sahabat meriwayatkan seluruh perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan rasulullah baik ketika safar maupun tidak. Bahkan seluruh kehidupan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat radiyallahu ‘anhum tersampaikan”. (Arkanul Islam, hal. 171)

Kapan Shalat Rawatib Ketika Shalat Fardhu DiJama’?

Imam Nawawi rahimahullah berkata: “Shalat rawatib dikerjakan setelah kedua shalat fardhu dijama’ dan tidak boleh dilakukan di antara keduanya. Dan demikian juga shalat rawatib qobliyah dzuhur dikerjakan sebelum kedua shalat fardhu dijama`”. (Shahih Muslim Bi Syarh An-Nawawi, 9/31)

Apakah Mengerjakan Shalat Rawatib Atau Mendengarkan Nasihat?

Dewan Tetap untuk Penelitian Ilmiyah dan Fatwa Saudi: “Disyariatkan bagi kaum muslimin jika mendapatkan nasihat (kultum) setelah shalat fardhu hendaknya mendengarkannya, kemudian setelahnya ia mengerjakan shalat rawatib seperti ba’diyah dzuhur, maghbrib dan ‘isya” (Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah LilBuhuts Al-‘Alamiyah Wal-Ifta’, 7/234)

Mendahulukan Menyempurnakan Dzikir-dzikir setelah Shalat Fardhu Sebelum Menunaikan Shalat Rawatib

As-Syaikh Abdullah bin Jibrin rahimahullah ditanya: “Apabila saya mengerjakan shalat jenazah setelah maghrib, apakah saya langsung mengerjakan shalat rawatib setelah selesai shalat jenazah ataukah menyempurnakan dzikir-dzikir kemudian shalat rawatib?

Jawaban beliau rahimahullah: “Yang lebih utama adalah duduk untuk menyempurnakan dzikir-dzikir kemudian menunaikan shalat rawatib. Maka perkara ini disyariatkan baik ada atau tidaknya shalat jenazah. Maka dzikir-dzikir yang ada setelah shalat fardhu merupakan sunnah yang selayaknya untuk dijaga dan tidak sepantasnya ditinggalkan. Maka jika anda memutus dzikir tersebut karena menunaikan shalat jenazah, maka setelah itu hendaknya menyempurnakan dzikirnya ditempat anda berada, kemudian mengerjakan shalat rawatib yaitu shalat ba’diyah. Hal ini mencakup rawatib ba’diyah dzuhur, maghrib maupun ‘isya dengan mengakhirkan shalat rawatib setelah berdzikir”. (Al-Qoul Al-Mubin fii Ma’rifati Ma Yahummu Al-Mushollin, hal. 471)

Tersibukkan Dengan Memuliakan Tamu Dari Meninggalkan Shalat Rawatib

As-Syaikh Muhammad bin Utsaimin rahimahullah berkata: “Pada dasarnya seseorang terkadang mengerjakan amal yang kurang afdhol (utama) kemudian melakukan yang lebih afdhol (yang semestinya didahulukan) dengan adanya sebab. Maka seandainya seseorang tersibukkan dengan memuliakan tamu di saat adanya shalat rawatib, maka memuliakan tamu didahulukan daripada mengerjakan shalat rawatib”. (Majmu’ Fatawa As-Syaikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin 16/176)

Shalatnya Seorang Pekerja Setelah Shalat Fardhu dengan Rawatib Maupun Shalat Sunnah lainnya

As-Syaikh Muhammad bin Utsaimin rahimahullah berkata: “Adapun shalat sunnah setelah shalat fardhu yang bukan rawatib maka tidak boleh. Karena waktu yang digunakan saat itu merupakan bagian dari waktu kerja semisal aqad menyewa dan pekerjaan lain. Adapun melakukan shalat rawatib (ba’da shalat fardhu), maka tidak mengapa. Karena itu merupakan hal yang biasa dilakukan dan masih dimaklumi (dibolehkan) oleh atasannya”.

Apakah Meninggalkan Shalat Rawatib Termasuk Bentuk Kefasikan?

As-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata: “Perkataan sebagian ulama’: (Sesungguhnya meninggalkan shalat rawatib termasuk fasiq), merupakan perkataan yang kurang baik, bahkan tidak benar. Karena shalat rawatib itu adalah nafilah (sunnah). Maka barangsiapa yang menjaga shalat fardhu dan meninggalkan maksiat tidaklah dikatakan fasik bahkan dia adalah seorang mukmin yang baik lagi adil. Dan demikian juga sebagian perkataan fuqoha’: (Sesungguhnya menjaga shalat rawatib merupakan bagian dari syarat adil dalam persaksian), maka ini adalah perkataan yang lemah. Karena setiap orang yang menjaga shalat fardhu dan meninggalkan maksiat maka ia adalah orang yang adil lagi tsiqoh. Akan tetapi dari sifat seorang mukmin yang sempurna selayaknya bersegera (bersemangat) untuk mengerjakan shalat rawatib dan perkara-perkara baik lainnya yang sangat banyak dan berlomba-lomba untuk mengerjakannya”. (Majmu’ Fatawa 11/382)

(Yang dimaksud adalah artikel tersebut: fdawj.atspace.org/awwb/th2/14.htm (pen.))

Faedah

Ibmu Qoyyim rahimahullah berkata: “Terdapat kumpulan shalat-shalat dari tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sehari semalam sebanyak 40 rakaat, yaitu dengan menjaga 17 rakaat dari shalat fardhu, 10 rakaat atau 12 rakaat dari shalat rawatib, 11 rakaat atau 13 rakaat shalat malam, maka keseluruhannya adalah 40 rakaat. Adapun tambahan shalat selain yang tersebutkan bukanlah shalat rawatib.

Maka sudah seharusnyalah bagi seorang hamba untuk senantiasa menegakkan terus-menerus tuntunan ini selamanya hingga menjumpai ajal (maut). Sehingga adakah yang lebih cepat terkabulkannya do’a dan tersegeranya dibukakan pintu bagi orang yang mengetuk sehari semalam sebanyak 40 kali? Allah-lah tempat meminta pertolongan”. (Zadul Ma’ad 1/327)

Lembaran singkat ini kami ringkas dari sebuah buku yang kami tulis sendiri berjudul “Hukum-hukum Shalat Sunnah Rawatib”.

Dan shalawat serta salam kepada Nabi kita Muhammad shallalllahu ‘alaihi wasallam dan keluarganya serta para sahabatnya. Amiin

Baca Juga: Shalat Sunnah Fajar, Jangan Sampai Ditinggalkan

Ummul Hamaam, 1 Ramadhan 1431 H

Penulis: As-Syaikh Abdullah bin Za’li Al-‘Anziy

Sumber: Buletin Darul Qosim (dar-alqassem.com)

Penerjemah: Abu Ahmad Meilana Dharma Putra

Muroja’ah: Al-Ustadz Abu Raihana, MA.


Artikel asli: https://muslim.or.id/4602-tuntunan-shalat-sunnah-rawatib.html